Resensi Novel Seumpama Matahari, Arafat Nur

Mei 05, 2020




Seumpama Matahari : Perang, Cinta, dan Kemanusiaan

Kami bangun, menembak sesekali ke arah teriakan tadi. Inilah cara terakhir. Zen membidik. Tembakannya berirama khas. Irama inilah yang ditakuti pasukan tentara pemerintah. Mereka sudah hafal irama ini.

Biasanya irama tembakan Zen memakan korban. Sebelum menjadi tentara gerilya, dia adalah pemburu rusa. Kijang di hutan pegunungan antara Bireun dan Panton sering menjadi sasaran tembakannya.

Kami menunggu Zen yang sedang menembaki musuh. Sesaat dia muncul. Kami lari tanpa membungkuk. Keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Napas kami memburu. Dada sesak. Asap-asap mesiu peledak membuat dada kami sakit.

Selama dua jam kami bisa menyingkir dari medan pertempuran. Tak seorang pun di antara kami jatuh korban atau cedera. Namun, kini nyawa kami terancam oleh banyaknya racun mesiu terhirup. Kami harus mendapatkan air sebagai penawar. Kalau tidak, kami bisa mati keracunan....

Novel ini mengisahkan sekelompok pejuang yang kerap terancam maut di hutan, juga naluri, kesetiaan, dan hubungan cinta dengan seorang gadis. Sebuah novel sejarah kontemporer yang sangat penting, dan ditulis dengan amat manusiawi dan menyentuh. Layak dibaca semua orang, semua tingkatan, dan semua umur.

Judul : Seumpama Matahari

Penulis : Arafat Nur

Penerbit : DIVA Press

Cetakan Pertama : Mei 2017

ISBN : 978-602-391-415-9

Tebal : 144 halaman

Buku ini adalah buku kedua yang saya baca karya Arafat Nur setelah Burung Terbang di Kelam Malam. Dari segi tema, gaya bahasa, dan karakter tokoh-tokohnya memang tidak jauh berbeda. Saya tidak terlalu paham buku ini masuk genre apa (thriller bisa, romance tapi nggak gitu-gitu banget), tetapi menurut saya buku-buku dengan tema seperti ini tergolong langka. Novel-novel karya Arafat Nur sepertinya memang tidak jauh-jauh dari Aceh, yang notabene memang tempat kelahirannya.

Seumpama Matahari ditulis berdasarkan catatan gerilya (yang hendak dimusnahkan, tetapi berhasil diselamatkan) Thayeb Loh Angen , kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tokoh utama novel ini sendiri adalah Asrul, seorang tentara GAM. Kisah dimulai dengan adegan sebuah pertempuran antara tentara GAM, yang hanya terdiri dari tiga orang, yaitu Asrul, dan dua temannya, Maun dan Basyah dengan pasukan pemerintah.

Mereka bertiga kabur dan akhirnya Asrul bisa pulang ke rumah setelah tiga tahun menjadi pemberontak di hutan. Namun ia harus pergi dari kampungnya karena identitasnya sebagai pemberontak terancam. Ia akhirnya pergi ke Riau, dan menggelandang beberapa hari setelah diusir dari tempat kostnya karena tidak juga mendapat pekerjaan. Kehidupannya baru bisa terselamatkan ketika ia bertemu dengan Putri, gadis yang dulu ditemuinya di meunasah (masjid dalam bahasa Aceh).

Hidup Asrul yang semula luntang-lantung menjadi lebih baik karena ia menumpang di rumah Putri dan adiknya, Ana. Kisah terus berlanjut, dan semakin ke sini fokus cerita seperti bertransformasi dari masalah pemberontakan ke percintaan antara Asrul dan Putri. Saat saya membaca bab pertama, saya kira novel ini akan full berisi tembak-menembak dan adegan-adegan aksi lainnya. Tapi ternyata tidak, dan entah mengapa saya merasa sedikit kecewa.

Tokoh Asrul menurut saya digambarkan sangat manusiawi, tidak seperti novel-novel kebanyakan yang tokoh-tokohnya terlalu sempurna, atau terlalu hitam putih. Asrul adalah gambaran manusia semanusia-manusianya, yang punya sisi baik dan buruk. Ia tidak religius (bukan berarti tidak beribadah), tidak juga pembangkang. Biasa saja.

Berlatar Aceh tahun 2000an, yaitu saat gencar-gencarnya pemberontakan GAM, novel ini sangat layak dibaca sebagai pengingat bagi generasi sekarang ini. Situasi saat itu digambarkan begitu carut-marut, perang memakan korban tidak hanya bagi yang berperang, tetapi masyarakat-masyarakat yang tidak tahu apa-apa yang malah lebih menderita.

Namun, yang membuat novel ini tetap ringan adalah penulis tidak terlalu mendramatisir, malah dibuat seolah hal seperti itu sudah wajar dan lumrah.

Kalau kamu pernah membaca bukunya Mochtar Lubis yang berjudul Harimau! Harimau!, Novel ini memiliki beberapa persamaan dengan buku tersebut. Dalam buku klasik tersebut, tokoh-tokohnya dipaksa mengakui semua dosa mereka atau mereka akan mati dimakan harimau. Bedanya, dalam novel Seumpama Matahari diungkapkan seolah dosa itu lumrah, dan memang nggak bisa lepas dari manusia.

"Bagiku semua itu tahi kucing. Aku berhak hidup dan bebas tanpa harus membeberkan rahasia mereka. Itu terserah akal-akalanku saja. Yang penting tidak ada orang yang kurugikan, apalagi celaka karena ulahku. Mana tahu mereka tentang ini semua. Pikiran mereka sempit. Sama juga dengan pikiran tentara pemerintah yang tak kalah dungunya."
 
Narasi ini adalah ketika Asrul tertangkap oleh tentara pemerintah dan ia berbohong, dengan kata lain berkhianat pada sekutunya untuk menyelamatkan dirinya. Dan ia dengan ringan hanya berpikir sesimpel itu.

Beberapa catatan
Ada beberapa bagian yang saya rasa tidak terlalu saya sukai. Misalnya dalam bab ke 2, Seorang Pemberontak dengan Dua Gadis, yaitu pertemuan antara Asrul dan Putri. Bagian itu diceritakan terlalu panjang (setengah bab), padahal tidak terlalu penting. Konflik-konflik cerita dan bagian penting lainnya diceritakan begitu singkat, mengapa yang tidak terlalu penting malah dibuat sampai satu bab?

Ada satu hal lagi, ini menurut pendapat pribadi. Desain cover terlalu sederhana untuk sebuah novel dengan latar peperangan. Penjilidan rapi dengan kertas yang berkualitas karena walaupun jumlah halaman tidak sampai 150, buku tetap terasa berat.

You Might Also Like

0 komentar

About Me

Like us on Facebook

Popular Posts